7 Fakta Kenapa Tentara Israel juga Menembaki Gereja di Palestina?

5 hours ago 3

loading...

Gereja Keluarga Kudus hancur akibat serangan brutal Israel di Gaza. Foto/thediplomatinspain

GAZA - Sejak meletusnya kembali konflik antara Israel dan Hamas pada Oktober 2023, Jalur Gaza menjadi medan perang paling berdarah dalam dua dekade terakhir. Dalam situasi perang yang brutal dan serangan udara tanpa henti, banyak warga sipil mencari perlindungan di tempat-tempat ibadah seperti masjid dan gereja.

Salah satu lokasi perlindungan utama bagi komunitas Kristen dan Muslim di Gaza adalah Gereja Katolik Keluarga Kudus (Holy Family Church), satu-satunya gereja Katolik yang tersisa di wilayah tersebut.

Namun, ironisnya, gereja ini justru menjadi target serangan Israel yang menyebabkan korban jiwa dan memunculkan kecaman luas dari dunia internasional, termasuk dari Vatikan dan organisasi kemanusiaan.

Penyerangan terhadap gereja bukan hanya menjadi tragedi kemanusiaan, tapi juga mengguncang prinsip dasar hukum perang internasional yang secara jelas melindungi tempat ibadah dari tindakan militer, kecuali jika digunakan untuk aktivitas bersenjata.

Dalam beberapa insiden penting, termasuk penembakan dua perempuan oleh sniper Israel di kompleks gereja pada Desember 2023 dan ledakan akibat serangan peluru tank pada Juli 2025, Israel selalu berdalih kejadian itu adalah "kesalahan" atau "tidak disengaja".

Namun pertanyaannya tetap: mengapa gereja—tempat perlindungan sakral—bisa menjadi sasaran serangan militer?

Berikut beberapa fakta lapangan, pernyataan resmi, dan analisis hukum internasional terkait aksi brutal militer Israel tersebut.

1. Gereja Sebagai Tempat Perlindungan Sipil yang Rentan

Selama konflik berlangsung, warga Gaza sering kali berlindung di tempat-tempat yang dianggap aman dari serangan, termasuk sekolah, rumah sakit, dan rumah ibadah.

Gereja Holy Family menjadi lokasi utama perlindungan warga Kristen Gaza, yang jumlahnya sangat kecil, hanya beberapa ratus orang dari populasi lebih dari 2 juta.

Tak hanya warga Kristen, warga Muslim yang kehilangan tempat tinggal akibat pemboman juga turut berlindung di gereja tersebut.

Di dalam gereja terdapat anak-anak, orang tua, bahkan disabilitas yang tergantung pada alat bantu medis. Tempat ini seharusnya berada di luar sasaran militer, karena tidak ada indikasi aktivitas bersenjata.

Namun dalam praktiknya, tempat perlindungan ini justru menghadapi ancaman. Kompleksitas medan perang yang padat dan sempit membuat tempat ibadah yang ramai bisa menjadi collateral damage dari operasi militer yang agresif.

Pihak gereja menegaskan tidak pernah memperbolehkan pihak pejuang menggunakan tempat tersebut untuk aktivitas perang. Oleh karena itu, serangan ke gereja oleh Israel bukan hanya salah sasaran, tapi juga melanggar prinsip perlindungan sipil dalam konflik bersenjata.

2. Kasus Penembakan Sniper Israel di Gereja (Desember 2023)

Pada 16 Desember 2023, dua perempuan—Nahida Khalil Anton dan putrinya Samar—ditembak mati oleh sniper Israel saat sedang berjalan di halaman Gereja Holy Family di Gaza.

Mereka hanya hendak menuju kamar kecil, namun tiba-tiba ditembak tanpa peringatan. Tujuh orang lainnya terluka saat mencoba menolong mereka.

Pihak gereja menyatakan tidak ada aktivitas militer sama sekali di dalam kompleks saat itu. Ini memperkuat dugaan bahwa penembakan dilakukan dengan kesengajaan atau minimal kelalaian berat oleh pihak tentara penjajah Israel.

Israel awalnya menyangkal keterlibatan langsung, namun kemudian menyatakan mereka tengah merespons tembakan dari wilayah sekitar. Klaim ini ditolak mentah-mentah oleh Patriarkat Latin Yerusalem yang menyatakan gereja benar-benar bebas dari aktivitas pejuang.

Paus Fransiskus saat itu mengecam keras serangan ini dan menyebut tindakan tersebut sebagai pembunuhan "in cold blood".

Read Entire Article
Prestasi | | | |