Fimela.com, Jakarta Gen Z sangatlah akrab dengan dunia digital dan internet sejak usia belia. Sejak remaja, mereka tumbuh bersama notifikasi, scroll tanpa henti, dan keharusan untuk selalu terhubung. Hanya saja, saat segala hal terasa terlalu cepat, terlalu ramai, dan terlalu terbuka, ruang digital justru bisa menjadi tempat yang melelahkan.
Digital fatigue bukan sekadar istilah tren, tetapi suatu kondisi nyata, mengurangi daya fokus, melemahkan emosi, dan mengikis semangat. Saat ini, banyak individu dari kalangan Gen Z menyadari bahwa mereka bukan hanya lelah bekerja atau belajar, tapi juga lelah karena harus selalu ada di ruang digital yang tak pernah tidur. Inilah dilema besar: dunia menuntut untuk selalu aktif, tapi jiwa butuh ketenangan dan kedamaian.
1. Hidup di Tengah Kebutuhan untuk Selalu Terhubung
Sahabat Fimela, berdasarkan tren global tahun 2025, sebanyak 73% Gen Z mengaku lelah secara digital, meskipun rata-rata waktu yang mereka habiskan online mencapai 7,2 jam setiap hari. Fakta ini memperlihatkan ketegangan yang nyata antara kebutuhan untuk selalu eksis secara daring dan kerinduan akan ketenangan di dunia nyata.
Paparan konten tanpa henti, tekanan untuk respons cepat, serta ketergantungan terhadap validasi sosial menjadikan ruang digital sebagai medan emosional yang berat.
Meski teknologi memudahkan banyak hal, Gen Z justru harus membayar mahal dengan harga yang tidak kasat mata: kejenuhan mental.
Digital fatigue bukan hanya soal lelah secara fisik, tapi juga kehilangan arah emosional karena terlalu banyak input tanpa ruang refleksi. Inilah alasan mengapa banyak anak muda kini mulai mempertanyakan ulang relasi mereka dengan gawai.
2. Gejala Tak Terlihat tapi Menggerogoti
Mata lelah, sulit tidur, hingga kecemasan sosial adalah beberapa gejala umum dari digital fatigue. Akan tetapi gejala yang lebih berbahaya sering kali tak terdeteksi: menurunnya empati, hilangnya fokus, dan rasa kosong meskipun tampak sibuk. Kondisi ini membuat seseorang tetap aktif secara fisik, tetapi lumpuh secara mental.
Sebuah survei di Amerika Serikat mengungkap bahwa 81% Gen Z merasa ingin bisa lebih mudah melepaskan diri dari perangkat digital. Bahkan, 46% di antaranya sudah rutin membatasi waktu layar, dan 17% lainnya berani melakukannya hampir setiap hari.
Angka tersebut bukan statistik belaka, melainkan sinyal bahwa ada kesadaran yang lebih positif yang sedang tumbuh. Mereka yang selama ini dianggap lekat dengan layar, kini mulai merasa bahwa kehidupan paling berarti justru ada di luar notifikasi.
3. Menemukan Kembali Makna lewat Digital Detox
Digital detox bukan tren sesaat. Ia adalah reaksi mendalam atas kekosongan yang dihasilkan dari koneksi tanpa substansi.
Banyak Gen Z mulai menemukan kembali kebahagiaan lewat kegiatan sederhana: membaca buku fisik, berolahraga tanpa ponsel, atau menikmati waktu bersama keluarga tanpa distraksi digital.
Sahabat Fimela, mengambil jeda bukan berarti lemah atau ketinggalan zaman—itu tanda bahwa seseorang sedang menjaga integritas dirinya sendiri. Kadang kita butuh ruang tanpa internet sejenak untuk bernapas demi menenangkan diri dan merawat kesehatan mental.
Semakin banyak komunitas yang mendukung digital slow living. Komunitas semacam ini bisa membangun hubungan yang lebih sehat dengan dunia digital, agar kita bisa hadir sepenuhnya, bukan hanya secara online, tapi juga secara batin.
4. Syifa Hadju dan Pilihan untuk Menjaga Diri
Aktris muda Syifa Hadju adalah salah satu figur publik Gen Z yang berani mengambil langkah untuk menjaga kesehatan mentalnya.
Setelah satu tahun penuh menjalani syuting sinetron, Syifa memutuskan untuk cuti panjang. Ia bahkan menolak berbagai tawaran naskah dengan rating 17+ dan 21+ yang dinilai tak sesuai dengan prinsip hidupnya.
Baginya, karier bukan alasan untuk mengabaikan kesejahteraan diri. Keputusan tersebut tak hanya mencerminkan keberanian, tapi juga kedewasaan emosional. Syifa membuktikan bahwa menjaga diri lebih penting daripada mengejar sorotan.
Syifa juga pernah mengalami tekanan akibat komentar negatif netizen. Alih-alih diam, ia mengambil sikap tegas, yaitu dengan memblokir akun-akun yang merugikan dan mengganggu ketenangan jiwanya. Ini bukan bentuk amarah, tapi bentuk cinta terhadap diri sendiri.
5. Adhisty Zara dan Keberanian Mengutamakan Kesehatan Mental
Adhisty Zara, mantan anggota JKT48 sekaligus aktris muda, juga pernah membagikan kisah emosional tentang pergulatannya dengan kesehatan mental. Ia mengaku sering menangis berjam-jam secara tiba-tiba, bahkan tanpa pemicu yang jelas. Kondisi itu membuatnya mempertanyakan apa yang salah dalam dirinya.
Zara menyadari bahwa komentar negatif dari netizen menjadi salah satu pemicu. Beban stigma dan tekanan sebagai figur publik kerap membuat dirinya merasa asing terhadap diri sendiri. Akan tetapi alih-alih menyangkal, Zara justru mencari bantuan profesional dengan berkonsultasi ke psikolog dan psikiater.
Sikap Zara menunjukkan bahwa tidak ada salahnya mengakui bahwa diri sedang tidak baik-baik saja. Sebuah langkah penting untuk pulih adalah keberanian untuk memahami luka dan mencari jalan keluar.
6. Lebih Bijak dalam Menggunakan Media Sosial
Keterhubungan Gen Z dengan media sosial sangat kompleks. Di satu sisi, platform digital membuka ruang untuk kreativitas dan eksistensi diri. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi sumber tekanan, perbandingan sosial, dan kecemasan yang tak berkesudahan.
Keseimbangan menjadi kunci. Beberapa anak muda mulai memilih untuk hanya aktif di media sosial tertentu, membatasi waktu scroll, bahkan memutuskan untuk rehat sejenak. Ini adalah bentuk kontrol, bukan ketertinggalan.
Media sosial bukan musuh, tetapi jika tidak diatur, ia bisa menjadi racun yang tak kasat mata. Mengurangi interaksi digital berarti memberi ruang bagi keheningan yang menyembuhkan dan kehadiran yang lebih utuh dalam kehidupan nyata.
7. Berani Jeda adalah Tindakan Positif
Di era serba cepat, mengambil jeda adalah bentuk keberanian. Di saat algoritma menuntut untuk terus bergerak, justru memilih berhenti sejenak adalah langkah paling visioner.
Gen Z mulai menyadari bahwa kualitas hidup tak diukur dari kecepatan respons, tetapi dari ketenangan batin.
Menjaga kesehatan mental bisa dibilang sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masa depan. Sahabat Fimela, kita semua punya hak untuk merasa lelah, beristirahat, dan menata ulang arah hidup—tanpa rasa bersalah.
Digital fatigue bukan akhir, tetapi semacam alarm bahwa tubuh dan jiwa butuh ruang untuk bernapas. Dan semakin banyak anak muda yang memahami ini, semakin besar harapan bahwa dunia digital ke depan akan lebih ramah untuk digunakan.
Sahabat Fimela, mungkin ini bisa menjadi saat terbaik untuk menyalakan kesadaran yang lebih baik soal kesehatan mental dan kesejahteraan diri. Bahwa jeda sejenak bisa menjadi salah satu bentuk cara untuk mencintai diri sendiri dan memiliki kedamaian batin yang lebih baik lagi.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.
LifestyleGaya Hidup Sadar Digital sebagai Cara Bijak Menyikapi Era Serba Online
Ketergantungan digital kini enjadi bagia dari hidup sehari-hari. Artikel ini membahas cara menerapkan gaya hidup sadar digital untuk menjaga keseimbangan mental dan produktivitas.
Lifestyle7 Zodiak yang Makin Bahagia saat Memasuki Usia 40
Memasuki usia 40-an bukan akhir dari petualangan hidup, justru awal kebijaksanaan dan kebahagiaan sejati. Tujuh zodiak ini hidupnya bisa makin bahagia dengan cara membangun kesadaran yang lebih positif.
LifestyleStop Procrastinating, Ini 5 Tips Ampuh untuk Menaklukkan Kebiasaan Menunda Pekerjaan
Temukan lima tips praktis untuk mengatasi kebiasaan procrastinating dan mulai bertindak lebih produktif setiap hari!
LifestyleMemahami Perbedaan Model Rumah Scandinavian, Japandi, dan Industrial yang Kerap Jadi Favorit
Ketahui perbedaan utama antara desain rumah Scandinavian, Japandi, dan Industrial, termasuk filosofi, palet warna, dan material, untuk memilih yang paling sesuai.