loading...
Maman Abdurrahman, Menteri UMKM, bahkan hadir langsung terhadap pendaftaran pengemudi Grab baru. Foto: Grab Indonesia
JAKARTA - Di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang semakin mengkhawatirkan, Gedung SMESCO di Jakarta mendadak berubah menjadi sebuah oase harapan. Ribuan orang, dari pengemudi ojek pangkalan hingga korban PHK yang kebingungan mencari arah, tumpah ruah untuk menyambut "panggilan" dari raksasa teknologi, Grab.
Ini bukan sekadar rekrutmen biasa. Ini adalah sebuah pertunjukan kekuatan, manuver strategis di mana Grab, dengan menggandeng Kementerian UMKM dan BPJS Ketenagakerjaan, secara terang-terangan memposisikan diri sebagai "bantalan sosial"—sebuah jaring pengaman bagi mereka yang terlempar dari pasar kerja formal.
Namun, di balik narasi mulia "membuka peluang" ini, tersimpan sebuah pertanyaan yang lebih fundamental dan kritis: apakah ekonomi gig (gig economy) yang fleksibel ini adalah sebuah solusi penyelamatan yang berkelanjutan, atau sekadar sebuah ilusi keamanan di tengah ketidakpastian ekonomi?
Harapan Baru dari Balik Jaket Hijau
Bagi hampir 2.000 orang yang memadati Gedung SMESCO, hari itu adalah tentang harapan. Proses pendaftaran yang biasanya rumit, kini dipangkas menjadi hitungan jam. Mereka bisa langsung aktif, mendapatkan atribut, bahkan langsung difasilitasi pendaftaran BPJS Ketenagakerjaan dan legalitas usaha (NIB) di tempat.
Neneng Goenadi, Country Managing Director Grab Indonesia, menegaskan bahwa ini adalah respons langsung terhadap kondisi genting di lapangan.
"Melebihi target, acara ini dihadiri hampir 2.000 orang. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti, Grab hadir sebagai bantalan sosial," ujar Neneng. Ia memaparkan sebuah data yang menohok: "Lebih dari 50% Mitra Pengemudi Grab sebelumnya adalah korban PHK, tidak memiliki pekerjaan, atau kehilangan sumber pendapatan."