Mempertanyakan Pengawasan Pemerintah dalam Kasus Tambang Nikel di Raja Ampat

7 hours ago 6

loading...

Mahasiswa Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta, Abdul Hamid Dhaifullah. FOTO/DOK.PRIBADI

Abdul Hamid Dhaifullah
Mahasiswa Hubungan Internasional UPN "Veteran" Jakarta
Anggota Lembaga Pers Mahasiswa ASPIRASI

HADIRNYA pertambangan nikel di Raja Ampat bisa diasumsikan sebagai salah satu dampak negatif dari penggalakan kebijakan hilirisasi pemerintah Indonesia tanpa pengawasan yang baik. Kebijakan dengan niat mendongkrak perekonomian negara malah menjadi momok ancaman bagi kelestarian alam ketika bertabrakan dengan kebijakan lainnya.

Tagar #SaveRajaAmpat mendulang atensi masyarakat luas setelah potongan rekaman aksi protes beberapa aktivis Greenpeace Indonesia di Indonesia Critical Minerals Conference & Expo pada Selasa, 3 Juni 2025, viral di sosial media. Iqbal Damanik selaku Juru Kampanye Hutan Greenpeace bersama dengan empat pemuda dari Papua memasuki ruang konferensi sembari membentangkan spanduk bertuliskan "Nickel Mines Destroy Lives", "What's The True Cost of Your Nickel?", dan "Save Raja Ampat The Last Paradise".

Aksi damai ini merupakan upaya mereka mendesak pemerintah agar segera menghentikan kegiatan penambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Sekurang-kurangnya terdapat lima perusahaan yang melakukan penambangan di kawasan tersebut, yakni PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham.

Ada hasil yang terbilang cukup positif dari aksi damai ini, setelah pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Sekretaris Negara menyatakan penghentian sementara empat dari lima tambang aktif di Raja Ampat dalam konferensi pers pada Selasa, 10 Juni 2025. Dari empat perusahaan tambang, hanya PT Gag Nikel yang tidak dicabut Izin Usaha Pertambangannya (IUP).

Bahlil menjelaskan bahwa pihaknya menemukan pelanggaran penggunaan lahan dari keempat perusahaan tambang. Keempat perusahaan itu melakukan aktivitas penambangan di dalam kawasan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization Global Geoparks (UNESCO Global Geoparks). UNESCO Global Geoparks sendiri merupakan wilayah yang telah dipromosikan secara khusus untuk konservasi alam dan pariwisata. Maka, bukan hal masuk akal bilamana terdapat aktivitas penambangan aktif destruktif di lingkungan yang memang semulanya dimaksudkan sebagai cagar alam.

Paradoks Regulasi dan Implementasi yang Membingungkan

Bila kita melihat keberadaan lima perusahaan tambang tadi dari kacamata hukum yang berlaku saat ini, kelima perusahaan tersebut terbukti melanggar tanpa terkecuali. Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang dengan tegas pemanfaatan wilayah pulau kecil untuk kebutuhan tambang yang merusak dan mencemari lingkungan.

Pulau kecil yang dimaksud dalam UU ini adalah pulau dengan luas total kurang dari 2.000 kilometer persegi. Faktanya, empat dari lima perusahaan tambang terbukti melakukan aktivitas tambang di "pulau kecil", termasuk PT Gag Nikel. Hanya PT Nurham yang tidak beroperasi di kawasan pulau kecil, Pulau Waigeo.

Maka, kelima perusahaan tambang itu terbukti melakukan pelanggaran pemanfaatan pulau kecil dan/atau kawasan UNESCO Global Geoparks sebagai kawasan tambang. Bahkan, jika UU Nomor 27 Tahun 2007 ditafsirkan secara literal, maka seluruh tambang di Raja Ampat terhitung melanggar, karena seluruh tambang yang "menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar", termasuk ke dalam bentuk pelanggaran.

Read Entire Article
Prestasi | | | |